BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Tasawuf merupakan salah satu fenomena dalam Islam yang
memusatkan perhatian pada pembersihan aspek rohani manusia, yang selanjutnya
menimbulkan akhlak mulia. Melalui tasawuf ini seseorang dapat mengetahui tentang
cara-cara melakukan pembersihan diri serta mengamalkan secara benar.
Tinjauan analitis terhadap tasawuf menunjukkan bahwa
para sufi dengan berbagai aliran yang dianutnya memiliki suatu konsepsi tentang
jalan (thariqat) menuju Allah. Jalan ini dimulai dengan latihan-latihan
rohaniah (riyadah), lalu secara bertahap menempuh berbagai fase, yang
dikenal dengan maqam (tingkatan) dan hal (keadaan), dan berakhir
dengan mengenal (ma’rifat) kepada Allah.
perjalanan menuju Allah untuk memperoleh pengenalan (ma’rifat)
yang berlaku di kalangan sufi sering disebut sebagai sebuah kerangka ‘Irfani.
Lingkup
‘Irfani tidak dapat dicapai dengan mudah atau secara spontanitas, tetapi
melalui proses yang panjang. Proses yang dimaksud adalah maqam-maqam (tingkatan
atau stasiun) dan ahwal (jama’ dari hal). maqam dan hal
tidak dapat dipisahkan. Keterkaitan antar keduanya dapat dilihat dalam
kenyataan bahwa maqam menjadi prasyarat menuju Tuhan dan dalam maqam akan
ditemukan kehadiran hal. Hal yang telah ditemukan dalam maqam akan
mengantarkan seseorang untuk mendaki maqam-maqam selanjutnya. Dua
persoalan ini harus dilewati oleh orang yang berjalan menuju Tuhan.
Untuk
itu pemakalah akan membahas tentang maqam dan ahwal dalam
tasawuf.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa yang dimaksud dengan maqamat dan
tahapan-tahapannya dalam tasawuf ?
2.
Apa yang dimaksud dengan ahwal dan
tahapan-tahapannya dalam tasawuf?
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Maqamat dan Tahapan-Tahapannya dalam Tasawuf
Maqamat merupakan bentuk jamak dari maqom mengandung
arti kedudukan dan tempat berpijak dua telapak kaki. Dalam ilmu tasawuf maqam
berarti kedudukan hamba dalam pandangan Allah menurut apa yang diusahakan
berupa riyadhah, ibadah, mujahadah. Sedangkan secara harfiyah maqamat berasal
dari bahasa arab yang berarti tempat orang berdiri atau. pangkal mulia. Istilah
ini selanjutnya digunakan untuk arti sebagai jalan panjang yang selalu ditempuh
oleh seorang sufi untuk berada dekat kepada Allah.[1][1]
Tentang berapa jumlah tangga atau maqamat yang harus
ditempuh oleh seorang sufi untuk sampai menuju Tuhan, di kalangan para sufi
tidak sama pendapatnya. Muhammad al-Kalabazy dalam kitabnya al-Ta’arruf li
Mazhab ahl al-Tasawwuf, sebagai dikutip Harun Nasution misalnya mengatakan
bahwa maqamat itu jumlahnya ada sepuluh, yaitu al-taubah, al-zuhud,
al-shabr, al-faqr, al-tawadlu’, al-taqwa, al-tawakkal, al-ridla, al-mahabbah
dan al-ma’rifah.
Sementara itu Abu Nasr al-Sarraj al-Tusi dalam kitab al-Luma’
menyebutkan jumlah maqamat hanya tujuh , yaitu al-taubah, al-wara’,
al-zuhud, al-faqr, al-tawakkal dan al-ridla.
Dalam pada itu Imam al-Ghazali dalam kitabnya Ihya’
Ulum al-Din mengatakan bahwa maqamat itu ada delapan, yaitu al-taubah,
al-shabr,al-zuhud, al-tawakkal,al-mahabbah, al-ma’rifah, dan al-ridla.
Kutipan tersebut memperlihatkan keadaan variasi
penyebutan maqamat yang berbeda-beda, namun ada maqamat yang oleh mereka
disepakati, yaitu al-taubah, al-zuhud, al-wara, al-faqr, al-shabr,
al-tawakkal dan al-ridla. Sedangkan al-tawaddlu, al-mahabbah, dan
al-ma’rifah oleh mereka tidak disepakati sebagai maqamat. Terhadap tiga
istilah yang disebut terakhir itu (al-tawaddlu, al-mahabbah dan al-ma’rifah)
terkadang para ahli tasawuf menyebutnya sebagai maqamat, dan terkadang menyebutnya
sebagai hal dan ittihad (tercapainya kesatuan wujud rohaniah dengan Tuhan).
Untuk itu dalam uraian ini, maqamat yang akan dijelaskan lebih lanjut adalah
maqamat yang disepakati oleh mereka, yaitu al-taubah, al-zuhud, al-wara’,
al-faqr, al-shabr, al-tawakkal, dan
al-ridl.[2][2]
a.
Taubat
Makna tobat dalam bahasa
arab adalah “kembali”. “ia bertobat” berarti “ia kembali”. Jadi tobat adalah
kembali dari sesuatu yang dicela oleh syara’ menuju sesuatu yang dipuji
olehnya.[3][3]
Taubat seperti dijelaskan oleh Imam Ghazali dalam
kitabnya "Ihya ulumuddin" adalah sebuah makna yang terdiri dari tiga
unsur: ilmu, hal dan amal. Ia berkata: "Sedangkan ilmu adalah, mengetahui
besarnya bahaya dosa, dan ia adalah penghalang antara hamba dan seluruh yang ia
senangi. Jika ia telah mengetahui itu dengan yakin dan sepenuh hati,
pengetahuannya itu akan berpengaruh dalam hatinya dan ia merasakan kepedihan
karena kehilangan yang dia cintai. Karena hati, ketika ia merasakan hilangnya
yang dia cintai, ia akan merasakan kepedihan, dan jika kehilangan itu
diakibatkan oleh perbuatannya, niscaya ia akan menyesali perbuatannya itu. Dan
perasaan pedih kehilangan yang dia cintai itu dinamakan penyesalan. Jika
perasaan pedih itu demikian kuat berpengaruh dalam hatinya dan menguasai hatinya,
maka perasaan itu akan mendorong timbulnya perasaan lain, yaitu tekad dan
kemauan untuk mengerjakan apa yang seharusnya pada saat ini, kemarin dan akan
datang. Tindakan yang ia lakukan saat ini adalah meninggalkan dosa yang
menyelimutinya, dan terhadap masa depannya adalah dengan bertekad untuk
meninggalkan dosa yang mengakibatkannya kehilangan yang dia cintai hingga
sepanjang masa. Sedangkan masa lalunya adalah dengan menebus apa yang ia
lakukan sebelumnya, jika dapat ditebus, atau menggantinya.[4][4]
Artinya:
“bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya
kamu beruntung.”[5][5]
b. Zuhud
Secara
etimologis, zuhud berarti ragaba ‘ansyai’in wa tarakahu, artinya tidak
tertarik terhadap sesuatu dan meninggalkannya. Zuhada fi al-dunya, berarti
mengosongkan diri dari kesenangan dunia untuk ibadah.[6][6]
Al Junayd mengajarkan “Zuhud adalah kekosongan hati
dari sesuatu yang tangan tidak memilikinya”.
Syiekh Abu Ali ad-Daqqaq mengatakan, “Zuhud adalah
hendaknya anda meninggalkan dunia sebagaimana adanya ia, bukan berkata, ‘aku
akan membangun pondok sufi atau mendirikan masjid’.”[7][7]
c.
Sabar
Sabar secara harfiah , berarti tabah hati. Secara
terminologi, sabar adalah suatu keadaan jiwa yang kokoh, stabil dan konsekuen
dalam pendirian. Sedangkan menurut pandangan Dzun Nun al-Misri, sabar berarti
menjauhkan diri dari hal-hal yang bertentangan dengan kehendak Allah, tetap
tenang ketika mendapat cobaan dan menampakkan sikap cukup, walaupun sebenarnya
berada dalam kefakiran. Berdasarkan pengertian di atas, maka sabar erat
hubungannya dengan pengendalian diri, pengendalian sikap dan pengendalian
emosi. Oleh sebab itu, sikap sabar tidak bisa terwujud begitu saja, akan tetapi
harus melalui latihan yang sungguh-sungguh.[8][8]
Sabar, menurut Al-Ghazali, jika dipandang sebagai
pengekangan tuntutan nafsu dan amarah, dinamakan sebagai kesabaran jiwa (ash-shabr
an-nafs), sedangkan menahan terhadap penyakit fisik, disebut sebagai sabar
badani (ash-shabr al-badani). Kesabaran jiwa sangat dibutuhkan dalam
berbagai aspek. Misalnya, untuk menahan nafsu makan dan seks yang berlebihan.[9][9]
d.
Wara’
Wara’, secara
harfiah, berarti saleh, menjauhkan diri dari perbuatan dosa atau maksiat.
Sedangkan pengertian wara’ dalam pandangan sufi adalah meninggalkan
segala sesuatu yang tidak jelas hukumnya, baik yang menyangkut makanan,
pakaian, maupun persoalan lainnya. Menurut Qamar Kailani yang dikutip oleh
Rivay A. Siregar, wara’ dibagi menjadi dua: wara’ lahiriyah dan wara’
batiniyah. Wara’ lahiriyah adalah tidak mempergunakan segala yang
masih diragukan dan meninggalkan kemewahan, sedangkan wara’ batiniyah
adalah tidak menempatkan atau mengisi hati kecuali dengan mengingat Allah.
Dalam kitab Al-Luma’ dijelaskan bahwa orang-orang wara’ dibagi
menjadi tiga tingkatan. Pertama, wara’ orang yang menjauhkan diri dari
syubhat. Kedua, wara’ orang yang menjauhkan diri dari sesuatu yang
menjadi keraguan hati dan ganjalan di dada. Ketiga, wara’ orang arif
yang sanggup menghayati dengan hati nurani[10][10]
e.
Faqr
Secara harfiah fakir biasanya diartikan sebagai orang
yang berhajat, butuh atau orang miskin. Sedangkan dalam pandangan sufi fakir
adalah tidak meminta lebih dari apa yang telah ada pada diri kita[11][11]
f.
Tawakkal
Secara harfiah tawakkal berarti menyerahkan diri.
Al-Qusyairi mengatakan bahwa tawakkal tempatnya di dalam hati, dan timbulnya
gerak dalam perbuatan tidak mengubah tawakkal yang terdapat dalam hati itu. Hal
itu terjadi setelah hamba meyakini bahwa segala ketentuan hanya didasarkan pada
ketentuan Allah. Mereka menganggap jika menghadapi kesulitan maka yang demikian
itu sebenarnya takdir Allah.
Pengertian tawakkal yang demikian itu sejalan pula
dengan yang dikemukakan Harun Nasution. Ia mengatakan tawakkal adalah
menyerahkan diri kepada qada dan keputusan Allah. Selamanya dalam keadaan
tenteram, jika mendapat pemberian berterima kasih, jika mendapat apa-apa
bersikap sabar dan menyerah kepada qada dan qadar Tuhan. Tidak memikirkan hari
esok, cukup dengan apa yang ada untuk hari ini. Tidak mau makan, jika ada orang
lain yang lebih berhajat pada makanan tersebut daripada dirinya. Percaya kepada
janji Allah. Menyerah kepada Allah dengan Allah dan karena Allah.[12][12]
g.
Ridla
Ridha, secara harfiah, berarti rela, senang dan suka.
Sedangkan pengertiannya secara umum adalah tidak menentang qadha dan qadar
Allah, menerima qadha dan qadar dengan hati senang. Mengeluarkan
perasaan benci dari hati sehingga yang tinggal di dalamnya hanya perasaan
senang dan gembira. Merasa senang menerima malapetaka sebagaimana merasa senang
menerima nikmat. Tidak meminta surga dari Allah dan tidak meminta dijauhkan
dari neraka. Sikap ridha ini merupakan kelanjutan rasa cinta atau perpaduan
dari mahabbah dan sabar. Rasa cinta yang diperkuat dengan ketabahan akan
menimbulkan kelapangan hati dan kesediaan yang tulus untuk berkorban dan
berbuat apa saja yang diperintahkan oleh Allah Swt.
h.
Mahabbah
Mahabbah berasal
dari kata ahabba-yuhibbu-mahabbatan yang berarti mencintai secara
mendalam. Mahabbah pada tingkatan selanjutnya dapat diartikan suatu
usaha sungguh-sungguh dari seseorang
untuk mencapai tingkat rohaniah tertinggi dengan terwujudnya kecintaan yang
mendalam kepada Allah. Berkaitan dengan konsep mahabbah, Rabi’ah
al-Adawiyah adalah peletak dasar mahabbah ini. Mahabbah dalam
pandangan Rabi’ah adalah cinta abadi kepada Allah yang melebihi cinta kepada
siapa pun dan apapun. Cinta abadi yang tidak takut kepada apa saja, bahkan
neraka sekalipun.[13][13]
i.
Ma’rifat
Ma’rifat berasal dari kata
‘arafa-ya’rifu-irfan-ma’rifat yang berarti pengetahuan atau pengalaman.
Dikalangan sufi, ma’rifat adalah sifat dari orang yang mengenal Allah SWT,
melalui nama-nama serta sifatNya dan berlaku tulus kepada Allah SWT dengan
muamalatnya, kemudian meenyucikan dirinya dari sifat-sifat yang rendah dan
cacat, yang terpaku lama di pintu (rohani) dan yang senantiasa I’tikaf dalam
hatinya.[14][14]
2.
Ahwal dan Tahapan-Tahapannya dalam Tasawuf
Ahwal
merupakan bentuk jamak dari hal. Dari segi bahasa, ahwal berarti sifat atau
keadaan sesuatu. Ahwal diterangkan sebagai penberian yang tercurah kepada
seseorang dari tuhannya, baik sebagi buah dari amal shaleh yang menyucikan jiwa
maupun datang dari tuhan sebagai pemberian semata.
Syaikh Abu
Nashar As Saraj berpendapat bahwa hal ialah keadaan yang meliputi hati
seseorang atau perasaan yang terkandung di dalamnya.Atau hal artinya keadaan
suasana batiniah,yang bergantung bukan pada sang sufi melainkan kepada
Tuhan.
Menurut sufi al-ahwal jamak dari al-hal dalam bahasa
inggris disebut state adalah situasi kejiwaan yang diperoleh seorang sufi
sebagai karunia Allah, bukan dari hasil usahanya. Sedangkan menurut al-
Qusyairi al-hal selalu bergerak setahap demi setahap ketingkat puncak
kesempurnaan rohani.[15][15]
hal-hal yang sering dijumpai dalam perjalanan kaum
sufi,antara lain waspada dan mawas diri (muhasabah dan muraqabah), kehampiran
atau kedekatan (qarb), cinta (hubb), takut (khauf), harap (raja’), rindu
(syauq), intim (uns), tentram (thuma’ninah), penyaksian (musyahadah), dan
yakin. Penjelasannya sebagai berikut:
a.
Waspada
dan mawas diri (Muhasabah dan Muraqabah)
Waspada dan mawas diri merupakan dua hal yang saling
berkaitan erat .Oleh karena itu ,ada sufi yang mengupasnya secara
bersamaan.Waspada dan mawas diri merupakan dua sisi dari tugas yang sama dalam
menundukkan perasaan jasmani yang berupa kombinasi dari pembawaan nafsu dan
amarah .Waspada (muhasabah) dapat diartikan menyakini bahwa Allah SWT
.Mengetahui segala pikiran,perbuatan ,rahasia dalam hati,yang membuat seseorang
menjadi hormat,takut,dan tunduk kepada Allah SWT.Adapun mawas diri (muraqabah)
adalah meneliti dengan cermat apakah segala perbuatannya sehari-hari telah
sesuai atau malah menyimpang dari yang dikehendaki-Nya.
b.
Cinta
(hubb)
Dalam pandangan tasawuf, mahabbah (cinta) merupakan
pijakan bagi segenap kemuliaan hal ,sama seperti tobat yang menjadi dasar bagi
kemuliaan maqam.Karena mahabbah pada dasarnya adalah kecendrungan hati untuk
memperhatikan keindahan atau kecantikan.
Berkenaan dengan mahabbah,Suhrawardi mengatakan,
‘’sesungguhnya mahabbah(cinta) adalah mata rantai keselarasan yang mengikat
sang pencipta kepada kekasihnya.Ketertarikan kepada kekasih ,yang menarik sang
pencipta kepadanya ,dan melenyapkan sesuatu dari wujudnya sehingga ia menguasai
seluruh sifat dalam dirinya,kemudian menangkap zatnya dalam genggam qudrat
(Allah).
c.
Berharap
dan takut (Raja’ dan Khauf)
Bagi kalangan sufi ,raja’ dan khauf berjalan seimbang
dan saling mempengaruhi.Raja’berarti berharap atau optimism .Raja’ atau
optimisme adalah perasaan hati yang senang karena menanti sesuatu yang
diinginkan dan disenangi.Raja’ atau optimism ini telah ditegaskan dalam
Al-qur’an;(Q.S.Al-Baqarah(2)218)
Artinya: Sesungguhnya
orang –orang yang beriman dan berhijrah dan berjihad dijalan Allah, mereka
itulah orang-orang yang mengharapkan rahmat Allah. Allah maha pengampun lagi
maha penyayang.
Raja’ menuntut 3 perkara yaitu:
1)
cinta pada apa yang diharapkannya
2)
takut harapannya hilang
3)
berusaha untuk mencapainya
Raja’ yang tidak dibarengi dengan 3 perkara itu
hanyalah ilusi atau khayalan. Setiap orang yang berharap adalah orang yang
takut (khauf). Orang yang berharap untuk sampai disuatu tempat tepat pada
waktunya, tentu ia takut terlambat. Karena takut terlambat ,ia mempercepat
jalannya. Begitu pula ,orang yang mengharap ridha atau ampunan Tuhan ,diiringi
pula dengan rasa takut akan siksaa Tuhan
Ahmad faridh menegaskan bahwa khauf merupakan cambuk
yang digunakan Allah SWT.untuk menggiring hamba-hamba-Nya menuju ilmu dan amal
supaya dengan keduanya ,mereka dapat dekat kepada Allah SWT. Khauf adalah
kesakitan hati karena membayangkan sesuatu yang ditakuti ,yang akan menimpa
dirinya pada masa yang akan datang .Khauf dapat mencegah hamba berbuat maksiat
dan mendorongnya untuk senantiasa berada dalam ketaatan.
Raja’ saling berhubungan.Kekurangan khauf akan
menyebabkan seseorang lalai dan berani berbuat maksiat,sedangkan khauf yang berlebihan
akan menjadikannya putus asa dan pesimis.Begitu juga sebaliknya ,terlalu besar
sikap raja akan membuat seseorang sombong dan meremehkan amalan –amalannya
karena optimisnya yang berlebihan.
d.
Rindu(syauq)
Selama masih ada cinta ,syauq tetap diperlukan
dalam lubuk jiwa ,rasa rindu hidup dengan subur,yaitu rindu ingin segera
bertemu dengan Tuhan.Ada orang yang mengatakan bahwa maut merupakan bukti cinta
yang benar.Lupa kepada Allah SWT.Lebih berbahaya daripada maut .Bagi sufi yang
rindu kepada Tuhan,mati dapat berarti bertemu dengan Tuhan.
e.
Intim(uns)
Dalam pandangan kaum sufi ,sifat uns (intim )adalah
sifat merasa selalu berteman, tak pernah merasa sepi .Ungkapan berikut ini
melukiskan sifat uns: ‘’Ada orang yang merasa sepi dalam keramaian.ia adalah
orang yang selalu memikirkan kekasihnya sebab sedang dimabuk cinta, seperti
halnya sepasang pemuda dan pemudi. Adapula orang yang merasa bising dalam
kesepian .Ia adalah orang yang selalu memikirkan atau merencanakan tugas
pekerjaannya semata .Adapun engkau, selalu merasa berteman dimanapun berada.
Alangkah mulianya engkau berteman dengan Allah SWT artinya, engkau selalu
berada dalam pemeliharaan Allah SWT.
Ungkapan ini melukiskan keakraban atau keintiman
seorang sufi dengan Tuhannya.Sikap keintiman ini banyak dialami oleh kaum sufi.[16][16]
BAB III
KESIMPULAN
1.
Maqamat meupakan bentuk jamak dari maqom mengandung
arti kedudukan dan tempat berpijak dua telapak Maqamat meupakan bentuk jamak
dari maqom mengandung arti kedudukan dan tempat berpijak dua telapak kaki.
Dalam ilmu tasawuf maqam berarti kedudukan hamba dalam pandangan Allah menurut
apa yang diusahakan berupa ibadah, perjuangan, dan latihan. Sedangkan secara
harfiyah maqamat berasal dari bahasa arab yang berarti tempat orang berdiri
atau pangkal mulia. Istilah ini selanjutnya digunakan untuk arti sebagai jalan
panjang yang selalu ditempuh oleh seorang sufi untuk berada dekat kepada Allah.
Macam-macam
maqamat diantaranya:
a.
Tobat
b.
Zuhud
c.
Faqr(faqir)
d.
Mahabbah
e.
Ma’rifat
f.
Rela (ridha)
g.
Tawakkal
h.
Wara’
2.
Ahwal merupakan bentuk jamak dari hal. Dari segi
bahasa, ahwal berarti sifat atau keadaan sesuatu. Ahwal diterangkan sebagai
penberian yang tercurah kepada seseorang dari tuhannya, baik sebagi buah dari
amal shaleh yang menyucikan jiwa maupun datang dari tuhan sebagai penbrian
semata.
Macam-macam
hal:
a.
Waspada dan mawasdiri( muhasabbah dan murakobbah)
b.
Cinta (hubb)
c.
Berharap dan takut (raja’ dan khauf )
d.
Rindu (syauq )
e.
Intim (uns )
DAFTAR PUSTAKA
Sholihin, M. 2003. Tasawuf
Tematik.Bandun: Pustaka Setia.
Abuddinnata.
2011. Akhlak Tasawuf. Jakarta:
Rajawali Pers.
Luqman
Hakiem, M..1999. Risalatul Qusyairiyah
”Induk Ilmu Tasawuf “. Surabaya: Risalah Gusti.
Tim
Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel. 2011. Akhlak Tasawuf, Surabaya: IAIN SA Press.
Syukur,
Amin. 2004. Zuhud di Abad Modern.Yogyakarta:Pustaka Pelajar.
Anwar, Rosibon dan Mukhtar Solihin. 2004. Ilmu Tasawuf.Bandung: Pustaka Setia.
Syukur,
Amin. 2003. Tasawuf Kontekstual
Solusi Problem Manusia Modern, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Siregar
, Riva’i A. 2001. Tasawwuf dari sufisme klasik ke neo sufisme. Jakarta: Rajawali
Press.
Anwar
, Rosihan. 2010. Ahklak Tasawu.,
Bandung: Pustaka Setia..
2 [2] Abuddin Nata. Akhlak Tasawuf. Rajawali Pers. Jakarta. 2011. Hlm. 193-194
[2][4]http://sufiroad.blogspot.com/2011/12/taubat-menurut-imam-ghazali.html, diunduh di Kudus, tanggal 3 maret
2014, pukul 11.00 WIB
[2][5]Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel. Akhlak
Tasawuf,IAIN SA Press. Surabaya.
2011. Hlm. 245-246
[2][6] Amin Syukur. Zuhud di Abad Modern. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. 2004. Hlm. 1
[6][7] M. Luqman Hakiem. Risalatul Qusyairiyah ”Induk Ilmu Tasawuf
“. Risalah Gusti. Surabaya. 1999. Hlm.112
[6][8] Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel. Akhlak
Tasawuf,IAIN SA Press. Surabaya.
2011. Hlm. 250-251
[6][9] Rosibon Anwar dan Mukhtar
Solihin. Ilmu Tasawuf. Pustaka
Setia. Bandung. 2004. Hlm. 72
[10][10] Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel. Akhlak
Tasawuf,IAIN SA Press. Surabaya.
2011. Hlm. 252-253
[10][11] Amin Syukur, Tasawuf Kontekstual
Solusi Problem Manusia Modern, Pustaka
Pelajar. Yogyakarta. 2003. Hlm. 3
[10][12] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf,
Rajawali Press. Jakarta. 2011. Hlm. 202
[13][13] Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel. Akhlak
Tasawuf,IAIN SA Press. Surabaya.
2011. Hlm. 257-258
[13][14] M. Luqman Hakiem. Risalatul Qusyairiyah ”Induk Ilmu Tasawuf
“. Risalah Gusti. Surabaya. 1999. Hlm.390
[15][15]Riva’i A. Siregar. Tasawwuf dari sufisme klasik ke neo sufisme.
Rajawali Press. Jakarta. 2001. Hlm. 131