Minggu, 15 Maret 2015

maqomat da ahwal ilmu akhlak tasawuf





BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Tasawuf merupakan salah satu fenomena dalam Islam yang memusatkan perhatian pada pembersihan aspek rohani manusia, yang selanjutnya menimbulkan akhlak mulia. Melalui tasawuf ini seseorang dapat mengetahui tentang cara-cara melakukan pembersihan diri serta mengamalkan secara benar.
Tinjauan analitis terhadap tasawuf menunjukkan bahwa para sufi dengan berbagai aliran yang dianutnya memiliki suatu konsepsi tentang jalan (thariqat) menuju Allah. Jalan ini dimulai dengan latihan-latihan rohaniah (riyadah), lalu secara bertahap menempuh berbagai fase, yang dikenal dengan maqam (tingkatan) dan hal (keadaan), dan berakhir dengan mengenal (ma’rifat) kepada Allah.
perjalanan menuju Allah untuk memperoleh pengenalan (ma’rifat) yang berlaku di kalangan sufi sering disebut sebagai sebuah kerangka ‘Irfani.
Lingkup ‘Irfani tidak dapat dicapai dengan mudah atau secara spontanitas, tetapi melalui proses yang panjang. Proses yang dimaksud adalah maqam-maqam (tingkatan atau stasiun) dan ahwal (jama’ dari hal). maqam dan hal tidak dapat dipisahkan. Keterkaitan antar keduanya dapat dilihat dalam kenyataan bahwa maqam menjadi prasyarat menuju Tuhan dan dalam maqam akan ditemukan kehadiran hal. Hal yang telah ditemukan dalam maqam akan mengantarkan seseorang untuk mendaki maqam-maqam selanjutnya. Dua persoalan ini harus dilewati oleh orang yang berjalan menuju Tuhan.
Untuk itu pemakalah akan membahas tentang maqam dan ahwal dalam tasawuf.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan maqamat dan tahapan-tahapannya dalam tasawuf ?
2.      Apa yang dimaksud dengan ahwal dan tahapan-tahapannya dalam tasawuf?








BAB II
PEMBAHASAN

1.      Maqamat dan Tahapan-Tahapannya dalam Tasawuf
Maqamat merupakan bentuk jamak dari maqom mengandung arti kedudukan dan tempat berpijak dua telapak kaki. Dalam ilmu tasawuf maqam berarti kedudukan hamba dalam pandangan Allah menurut apa yang diusahakan berupa riyadhah, ibadah, mujahadah. Sedangkan secara harfiyah maqamat berasal dari bahasa arab yang berarti tempat orang berdiri atau. pangkal mulia. Istilah ini selanjutnya digunakan untuk arti sebagai jalan panjang yang selalu ditempuh oleh seorang sufi untuk berada dekat kepada Allah.[1][1]
Tentang berapa jumlah tangga atau maqamat yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk sampai menuju Tuhan, di kalangan para sufi tidak sama pendapatnya. Muhammad al-Kalabazy dalam kitabnya al-Ta’arruf li Mazhab ahl al-Tasawwuf, sebagai dikutip Harun Nasution misalnya mengatakan bahwa maqamat itu jumlahnya ada sepuluh, yaitu al-taubah, al-zuhud, al-shabr, al-faqr, al-tawadlu’, al-taqwa, al-tawakkal, al-ridla, al-mahabbah dan al-ma’rifah.
Sementara itu Abu Nasr al-Sarraj al-Tusi dalam kitab al-Luma’ menyebutkan jumlah maqamat hanya tujuh , yaitu al-taubah, al-wara’, al-zuhud, al-faqr, al-tawakkal dan al-ridla.
Dalam pada itu Imam al-Ghazali dalam kitabnya Ihya’ Ulum al-Din mengatakan bahwa maqamat itu ada delapan, yaitu al-taubah, al-shabr,al-zuhud, al-tawakkal,al-mahabbah, al-ma’rifah, dan al-ridla.
Kutipan tersebut memperlihatkan keadaan variasi penyebutan maqamat yang berbeda-beda, namun ada maqamat yang oleh mereka disepakati, yaitu al-taubah, al-zuhud, al-wara, al-faqr, al-shabr, al-tawakkal dan al-ridla. Sedangkan al-tawaddlu, al-mahabbah, dan al-ma’rifah oleh mereka tidak disepakati sebagai maqamat. Terhadap tiga istilah yang disebut terakhir itu (al-tawaddlu, al-mahabbah dan al-ma’rifah) terkadang para ahli tasawuf menyebutnya sebagai maqamat, dan terkadang menyebutnya sebagai hal dan ittihad (tercapainya kesatuan wujud rohaniah dengan Tuhan). Untuk itu dalam uraian ini, maqamat yang akan dijelaskan lebih lanjut adalah maqamat yang disepakati oleh mereka, yaitu al-taubah, al-zuhud, al-wara’, al-faqr, al-shabr, al-tawakkal, dan  al-ridl.[2][2]
a.      Taubat
Makna tobat dalam bahasa arab adalah “kembali”. “ia bertobat” berarti “ia kembali”. Jadi tobat adalah kembali dari sesuatu yang dicela oleh syara’ menuju sesuatu yang dipuji olehnya.[3][3]
Taubat seperti dijelaskan oleh Imam Ghazali dalam kitabnya "Ihya ulumuddin" adalah sebuah makna yang terdiri dari tiga unsur: ilmu, hal dan amal. Ia berkata: "Sedangkan ilmu adalah, mengetahui besarnya bahaya dosa, dan ia adalah penghalang antara hamba dan seluruh yang ia senangi. Jika ia telah mengetahui itu dengan yakin dan sepenuh hati, pengetahuannya itu akan berpengaruh dalam hatinya dan ia merasakan kepedihan karena kehilangan yang dia cintai. Karena hati, ketika ia merasakan hilangnya yang dia cintai, ia akan merasakan kepedihan, dan jika kehilangan itu diakibatkan oleh perbuatannya, niscaya ia akan menyesali perbuatannya itu. Dan perasaan pedih kehilangan yang dia cintai itu dinamakan penyesalan. Jika perasaan pedih itu demikian kuat berpengaruh dalam hatinya dan menguasai hatinya, maka perasaan itu akan mendorong timbulnya perasaan lain, yaitu tekad dan kemauan untuk mengerjakan apa yang seharusnya pada saat ini, kemarin dan akan datang. Tindakan yang ia lakukan saat ini adalah meninggalkan dosa yang menyelimutinya, dan terhadap masa depannya adalah dengan bertekad untuk meninggalkan dosa yang mengakibatkannya kehilangan yang dia cintai hingga sepanjang masa. Sedangkan masa lalunya adalah dengan menebus apa yang ia lakukan sebelumnya, jika dapat ditebus, atau menggantinya.[4][4]
 
Artinya: “bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.”[5][5]

b.      Zuhud
Secara etimologis, zuhud berarti ragaba ‘ansyai’in wa tarakahu, artinya tidak tertarik terhadap sesuatu dan meninggalkannya. Zuhada fi al-dunya, berarti mengosongkan diri dari kesenangan dunia untuk ibadah.[6][6]
Al Junayd mengajarkan “Zuhud adalah kekosongan hati dari sesuatu yang tangan tidak memilikinya”.
Syiekh Abu Ali ad-Daqqaq mengatakan, “Zuhud adalah hendaknya anda meninggalkan dunia sebagaimana adanya ia, bukan berkata, ‘aku akan membangun pondok sufi atau mendirikan masjid’.”[7][7]
c.       Sabar
Sabar secara harfiah , berarti tabah hati. Secara terminologi, sabar adalah suatu keadaan jiwa yang kokoh, stabil dan konsekuen dalam pendirian. Sedangkan menurut pandangan Dzun Nun al-Misri, sabar berarti menjauhkan diri dari hal-hal yang bertentangan dengan kehendak Allah, tetap tenang ketika mendapat cobaan dan menampakkan sikap cukup, walaupun sebenarnya berada dalam kefakiran. Berdasarkan pengertian di atas, maka sabar erat hubungannya dengan pengendalian diri, pengendalian sikap dan pengendalian emosi. Oleh sebab itu, sikap sabar tidak bisa terwujud begitu saja, akan tetapi harus melalui latihan yang sungguh-sungguh.[8][8]
Sabar, menurut Al-Ghazali, jika dipandang sebagai pengekangan tuntutan nafsu dan amarah, dinamakan sebagai kesabaran jiwa (ash-shabr an-nafs), sedangkan menahan terhadap penyakit fisik, disebut sebagai sabar badani (ash-shabr al-badani). Kesabaran jiwa sangat dibutuhkan dalam berbagai aspek. Misalnya, untuk menahan nafsu makan dan seks yang berlebihan.[9][9]
d.      Wara’
Wara’, secara harfiah, berarti saleh, menjauhkan diri dari perbuatan dosa atau maksiat. Sedangkan pengertian wara’ dalam pandangan sufi adalah meninggalkan segala sesuatu yang tidak jelas hukumnya, baik yang menyangkut makanan, pakaian, maupun persoalan lainnya. Menurut Qamar Kailani yang dikutip oleh Rivay A. Siregar, wara’ dibagi menjadi dua: wara’ lahiriyah dan wara’ batiniyah. Wara’ lahiriyah adalah tidak mempergunakan segala yang masih diragukan dan meninggalkan kemewahan, sedangkan wara’ batiniyah adalah tidak menempatkan atau mengisi hati kecuali dengan mengingat Allah. Dalam kitab Al-Luma’ dijelaskan bahwa orang-orang wara’ dibagi menjadi tiga tingkatan. Pertama, wara’ orang yang menjauhkan diri dari syubhat. Kedua, wara’ orang yang menjauhkan diri dari sesuatu yang menjadi keraguan hati dan ganjalan di dada. Ketiga, wara’ orang arif yang sanggup menghayati dengan hati nurani[10][10]
e.       Faqr
Secara harfiah fakir biasanya diartikan sebagai orang yang berhajat, butuh atau orang miskin. Sedangkan dalam pandangan sufi fakir adalah tidak meminta lebih dari apa yang telah ada pada diri kita[11][11]
f.       Tawakkal
Secara harfiah tawakkal berarti menyerahkan diri. Al-Qusyairi mengatakan bahwa tawakkal tempatnya di dalam hati, dan timbulnya gerak dalam perbuatan tidak mengubah tawakkal yang terdapat dalam hati itu. Hal itu terjadi setelah hamba meyakini bahwa segala ketentuan hanya didasarkan pada ketentuan Allah. Mereka menganggap jika menghadapi kesulitan maka yang demikian itu sebenarnya takdir Allah.
Pengertian tawakkal yang demikian itu sejalan pula dengan yang dikemukakan Harun Nasution. Ia mengatakan tawakkal adalah menyerahkan diri kepada qada dan keputusan Allah. Selamanya dalam keadaan tenteram, jika mendapat pemberian berterima kasih, jika mendapat apa-apa bersikap sabar dan menyerah kepada qada dan qadar Tuhan. Tidak memikirkan hari esok, cukup dengan apa yang ada untuk hari ini. Tidak mau makan, jika ada orang lain yang lebih berhajat pada makanan tersebut daripada dirinya. Percaya kepada janji Allah. Menyerah kepada Allah dengan Allah dan karena Allah.[12][12]


g.      Ridla
Ridha, secara harfiah, berarti rela, senang dan suka. Sedangkan pengertiannya secara umum adalah tidak menentang qadha dan qadar Allah, menerima qadha dan qadar dengan hati senang. Mengeluarkan perasaan benci dari hati sehingga yang tinggal di dalamnya hanya perasaan senang dan gembira. Merasa senang menerima malapetaka sebagaimana merasa senang menerima nikmat. Tidak meminta surga dari Allah dan tidak meminta dijauhkan dari neraka. Sikap ridha ini merupakan kelanjutan rasa cinta atau perpaduan dari mahabbah dan sabar. Rasa cinta yang diperkuat dengan ketabahan akan menimbulkan kelapangan hati dan kesediaan yang tulus untuk berkorban dan berbuat apa saja yang diperintahkan oleh Allah Swt.
h.      Mahabbah
 Mahabbah berasal dari kata ahabba-yuhibbu-mahabbatan yang berarti mencintai secara mendalam. Mahabbah pada tingkatan selanjutnya dapat diartikan suatu usaha sungguh-sungguh  dari seseorang untuk mencapai tingkat rohaniah tertinggi dengan terwujudnya kecintaan yang mendalam kepada Allah. Berkaitan dengan konsep mahabbah, Rabi’ah al-Adawiyah adalah peletak dasar mahabbah ini. Mahabbah dalam pandangan Rabi’ah adalah cinta abadi kepada Allah yang melebihi cinta kepada siapa pun dan apapun. Cinta abadi yang tidak takut kepada apa saja, bahkan neraka sekalipun.[13][13]
i.        Ma’rifat
Ma’rifat berasal dari kata ‘arafa-ya’rifu-irfan-ma’rifat yang berarti pengetahuan atau pengalaman. Dikalangan sufi, ma’rifat adalah sifat dari orang yang mengenal Allah SWT, melalui nama-nama serta sifatNya dan berlaku tulus kepada Allah SWT dengan muamalatnya, kemudian meenyucikan dirinya dari sifat-sifat yang rendah dan cacat, yang terpaku lama di pintu (rohani) dan yang senantiasa I’tikaf dalam hatinya.[14][14]
2.      Ahwal dan Tahapan-Tahapannya dalam Tasawuf
Ahwal merupakan bentuk jamak dari hal. Dari segi bahasa, ahwal berarti sifat atau keadaan sesuatu. Ahwal diterangkan sebagai penberian yang tercurah kepada seseorang dari tuhannya, baik sebagi buah dari amal shaleh yang menyucikan jiwa maupun datang dari tuhan sebagai pemberian semata. 
 Syaikh Abu Nashar As Saraj berpendapat bahwa hal ialah keadaan yang meliputi hati seseorang atau perasaan yang terkandung di dalamnya.Atau hal artinya keadaan suasana batiniah,yang bergantung bukan pada sang sufi melainkan kepada Tuhan. 
Menurut sufi al-ahwal jamak dari al-hal dalam bahasa inggris disebut state adalah situasi kejiwaan yang diperoleh seorang sufi sebagai karunia Allah, bukan dari hasil usahanya. Sedangkan menurut al- Qusyairi al-hal selalu bergerak setahap demi setahap ketingkat puncak kesempurnaan rohani.[15][15]
hal-hal yang sering dijumpai dalam perjalanan kaum sufi,antara lain waspada dan mawas diri (muhasabah dan muraqabah), kehampiran atau kedekatan (qarb), cinta  (hubb), takut (khauf), harap (raja’), rindu (syauq), intim (uns), tentram (thuma’ninah), penyaksian (musyahadah), dan yakin. Penjelasannya sebagai berikut:
a.      Waspada dan mawas diri (Muhasabah dan Muraqabah) 
Waspada dan mawas diri merupakan dua hal yang saling berkaitan erat .Oleh karena itu ,ada sufi yang mengupasnya secara bersamaan.Waspada dan mawas diri merupakan dua sisi dari tugas yang sama dalam menundukkan perasaan jasmani yang berupa kombinasi dari pembawaan nafsu dan amarah .Waspada (muhasabah) dapat diartikan menyakini bahwa Allah SWT .Mengetahui segala pikiran,perbuatan ,rahasia dalam hati,yang membuat seseorang menjadi hormat,takut,dan tunduk kepada Allah SWT.Adapun mawas diri (muraqabah) adalah meneliti dengan cermat apakah segala perbuatannya sehari-hari telah sesuai atau malah menyimpang dari yang dikehendaki-Nya.
b.      Cinta (hubb)
Dalam pandangan tasawuf, mahabbah (cinta) merupakan pijakan bagi segenap kemuliaan hal ,sama seperti tobat yang menjadi dasar bagi kemuliaan maqam.Karena mahabbah pada dasarnya adalah kecendrungan hati untuk memperhatikan keindahan atau kecantikan. 
Berkenaan dengan mahabbah,Suhrawardi mengatakan, ‘’sesungguhnya mahabbah(cinta) adalah mata rantai keselarasan yang mengikat sang pencipta kepada kekasihnya.Ketertarikan kepada kekasih ,yang menarik sang pencipta kepadanya ,dan melenyapkan sesuatu dari wujudnya sehingga ia menguasai seluruh sifat dalam dirinya,kemudian menangkap zatnya dalam genggam qudrat (Allah).
c.       Berharap dan takut (Raja’ dan Khauf)
Bagi kalangan sufi ,raja’ dan khauf berjalan seimbang dan saling mempengaruhi.Raja’berarti berharap atau optimism .Raja’ atau optimisme adalah perasaan hati yang senang karena menanti sesuatu yang diinginkan dan disenangi.Raja’ atau optimism ini telah ditegaskan dalam Al-qur’an;(Q.S.Al-Baqarah(2)218) 
 Artinya: Sesungguhnya orang –orang yang beriman dan berhijrah dan berjihad dijalan Allah, mereka itulah orang-orang yang mengharapkan rahmat Allah. Allah maha pengampun lagi maha penyayang.
Raja’ menuntut 3 perkara yaitu:
1)      cinta pada apa yang diharapkannya
2)      takut harapannya hilang
3)      berusaha untuk mencapainya 
Raja’ yang tidak dibarengi dengan 3 perkara itu hanyalah ilusi atau khayalan. Setiap orang yang berharap adalah orang yang takut (khauf). Orang yang berharap untuk sampai disuatu tempat tepat pada waktunya, tentu ia takut terlambat. Karena takut terlambat ,ia mempercepat jalannya. Begitu pula ,orang yang mengharap ridha atau ampunan Tuhan ,diiringi pula dengan rasa takut akan siksaa Tuhan 
Ahmad faridh menegaskan bahwa khauf merupakan cambuk yang digunakan Allah SWT.untuk menggiring hamba-hamba-Nya menuju ilmu dan amal supaya dengan keduanya ,mereka dapat dekat kepada Allah SWT. Khauf adalah kesakitan hati karena membayangkan sesuatu yang ditakuti ,yang akan menimpa dirinya pada masa yang akan datang .Khauf dapat mencegah hamba berbuat maksiat dan mendorongnya untuk senantiasa berada dalam ketaatan.
Raja’ saling berhubungan.Kekurangan khauf akan menyebabkan seseorang lalai dan berani berbuat maksiat,sedangkan khauf yang berlebihan akan menjadikannya putus asa dan pesimis.Begitu juga sebaliknya ,terlalu besar sikap raja akan membuat seseorang sombong dan meremehkan amalan –amalannya karena optimisnya yang berlebihan. 
d.      Rindu(syauq) 
 Selama masih ada cinta ,syauq tetap diperlukan dalam lubuk jiwa ,rasa rindu hidup dengan subur,yaitu rindu ingin segera bertemu dengan Tuhan.Ada orang yang mengatakan bahwa maut merupakan bukti cinta yang benar.Lupa kepada Allah SWT.Lebih berbahaya daripada maut .Bagi sufi yang rindu kepada Tuhan,mati dapat berarti bertemu dengan Tuhan.
e.       Intim(uns)
Dalam pandangan kaum sufi ,sifat uns (intim )adalah sifat merasa selalu berteman, tak pernah merasa sepi .Ungkapan berikut ini melukiskan sifat uns: ‘’Ada orang yang merasa sepi dalam keramaian.ia adalah orang yang selalu memikirkan kekasihnya sebab sedang dimabuk cinta, seperti halnya sepasang pemuda dan pemudi. Adapula orang yang merasa bising dalam kesepian .Ia adalah orang yang selalu memikirkan atau merencanakan tugas pekerjaannya semata .Adapun engkau, selalu merasa berteman dimanapun berada. Alangkah mulianya engkau berteman dengan Allah SWT artinya, engkau selalu berada dalam pemeliharaan Allah SWT. 
Ungkapan ini melukiskan keakraban atau keintiman seorang sufi dengan Tuhannya.Sikap keintiman ini banyak dialami oleh kaum sufi.[16][16]



BAB III
KESIMPULAN
1.      Maqamat meupakan bentuk jamak dari maqom mengandung arti kedudukan dan tempat berpijak dua telapak Maqamat meupakan bentuk jamak dari maqom mengandung arti kedudukan dan tempat berpijak dua telapak kaki. Dalam ilmu tasawuf maqam berarti kedudukan hamba dalam pandangan Allah menurut apa yang diusahakan berupa ibadah, perjuangan, dan latihan. Sedangkan secara harfiyah maqamat berasal dari bahasa arab yang berarti tempat orang berdiri atau pangkal mulia. Istilah ini selanjutnya digunakan untuk arti sebagai jalan panjang yang selalu ditempuh oleh seorang sufi untuk berada dekat kepada Allah.
Macam-macam maqamat diantaranya: 
a.       Tobat 
b.      Zuhud 
c.       Faqr(faqir) 
d.      Mahabbah
e.       Ma’rifat
f.       Rela (ridha) 
g.      Tawakkal 
h.      Wara’ 
2.       Ahwal merupakan bentuk jamak dari hal. Dari segi bahasa, ahwal berarti sifat atau keadaan sesuatu. Ahwal diterangkan sebagai penberian yang tercurah kepada seseorang dari tuhannya, baik sebagi buah dari amal shaleh yang menyucikan jiwa maupun datang dari tuhan sebagai penbrian semata.
Macam-macam hal:
a.       Waspada dan mawasdiri( muhasabbah dan murakobbah)
b.      Cinta (hubb) 
c.       Berharap dan takut (raja’ dan khauf )
d.       Rindu (syauq )
e.       Intim (uns )



DAFTAR PUSTAKA

Sholihin, M. 2003. Tasawuf Tematik.Bandun: Pustaka Setia.
Abuddinnata. 2011. Akhlak Tasawuf. Jakarta: Rajawali Pers.
Luqman Hakiem, M..1999. Risalatul Qusyairiyah ”Induk Ilmu Tasawuf “. Surabaya: Risalah Gusti.
Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel. 2011. Akhlak Tasawuf, Surabaya: IAIN SA Press.
Syukur, Amin. 2004. Zuhud  di Abad Modern.Yogyakarta:Pustaka Pelajar.
Anwar,  Rosibon dan Mukhtar Solihin. 2004.  Ilmu Tasawuf.Bandung:  Pustaka Setia.
Syukur, Amin. 2003.  Tasawuf Kontekstual Solusi Problem Manusia Modern, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Siregar , Riva’i A. 2001.  Tasawwuf dari sufisme klasik ke neo sufisme. Jakarta: Rajawali Press.
Anwar , Rosihan. 2010. Ahklak Tasawu., Bandung: Pustaka Setia..




 1[1]M. Sholihin. Tasawuf Tematik. Pustaka Setia. Bandung. 2003. Hlm.  13
2 [2] Abuddin Nata. Akhlak Tasawuf. Rajawali Pers. Jakarta. 2011. Hlm. 193-194
[2][4]http://sufiroad.blogspot.com/2011/12/taubat-menurut-imam-ghazali.html, diunduh di Kudus, tanggal 3 maret 2014, pukul 11.00 WIB  
[2][5]Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel. Akhlak Tasawuf,IAIN SA Press. Surabaya. 2011. Hlm. 245-246 
[2][6] Amin Syukur. Zuhud  di Abad Modern. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. 2004. Hlm. 1




[6][7] M. Luqman Hakiem. Risalatul Qusyairiyah ”Induk Ilmu Tasawuf “. Risalah Gusti. Surabaya. 1999. Hlm.112
[6][8] Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel. Akhlak Tasawuf,IAIN SA Press. Surabaya. 2011. Hlm. 250-251 
[6][9] Rosibon Anwar dan Mukhtar Solihin.  Ilmu Tasawuf. Pustaka Setia. Bandung. 2004. Hlm. 72




[10][10] Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel. Akhlak Tasawuf,IAIN SA Press. Surabaya. 2011. Hlm. 252-253 
[10][11] Amin Syukur, Tasawuf Kontekstual Solusi Problem Manusia Modern, Pustaka Pelajar. Yogyakarta. 2003. Hlm. 3
[10][12] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, Rajawali Press. Jakarta. 2011. Hlm. 202



[13][13] Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel. Akhlak Tasawuf,IAIN SA Press. Surabaya. 2011. Hlm. 257-258
[13][14] M. Luqman Hakiem. Risalatul Qusyairiyah ”Induk Ilmu Tasawuf “. Risalah Gusti. Surabaya. 1999. Hlm.390


[15][15]Riva’i A. Siregar. Tasawwuf dari sufisme klasik ke neo sufisme. Rajawali Press. Jakarta. 2001. Hlm. 131
[16][16] Rosihan Anwar. Ahklak Tasawu.,Pustaka Setia. Bandung. 2010. Hlm. 201.